Semuanya bermula ketika keluargaku menggaji seorang pembantu yang bernama Yeyen. Dia merupakan pembantu yang digaji perhari, banyak keluarga di komplek kami yang menggunakan jasanya. Suatu ketika, aku sedang memberi makan kucingku ketika bel pintu berbunyi, aku segera melihat siapa yang datang, ternyata Mbak Yeyen.
“Halo Ian, ada siapa di rumah?” tanya Mbak Yeyen.
“Oh Mbak, kirain siapa. Mama Papa kan jam segini belum pulang Mbak..” jawabku sambil mempersilahkan dia masuk.
“Oh gitu, kalo sendirian aja biar skalian Mbak temenin aja, kamu lagi apa?” tanya Mbak Yeyen lagi sambil langsung menuju dapur, aku mengikuti dari belakang sambil memandang pantat Mbak Yeyen yang montok. Hari ini dia memakai sweater hitam yang dipadu dengan rok coklat sepanjang betis.
“Ga lagi ngapa2in Mbak..” jawabku.
“Ya udah Mbak nyuci dulu ya.” katanya lagi.
Aku hanya mengangguk dan pergi ke kamarku main Playstation.
Beberapa jam kemudian aku capek dan mulai tertidur. Tiba2 Mbak Yeyen masuk ke kamarku hanya dengan mengenakan handuk yang dililitkan ke badannya. Aku terbangun karena suara pintu yang terbuka.
“Ian, mama kamu punya hair dryer nggak?” tanyanya, sambil mengacak2 rambutnya yang basah didepan cermin besar di kamarku.
“Mama sih punya Mbak, cuman Ian ga tau tempatnya dimana.” aku berbaring kembali. Mbak Yeyen memang biasa mandi dan makan di rumahku apabila orangtuaku sedang tidak ada, malah kadang2 dia membawa teman2nya untuk nonton DVD, masak apa yang ada di kulkas, hingga tidur2an di kamar Mama sambil ngegosip.
“Yah, kalo gini rambut Mbak bakal lama keringnya dong.”
Aku tidak menjawab. Tiba2 Mbak Yeyen melemparkan tubuhnya ke ranjang, tepat disebelahku sambil tertawa.
“Uaah, Mbak ikut nungguin disini ya..” katanya. Lipatan handuknya terlepas tapi Mbak Yeyen tidak berusaha merapikannya. Payudaranya yang besar terlihat jelas. Aku bengong, soalnya baru pertama kali itu aku melihat payudara seorang wanita.
“Heh kamu ngeliatin apa?” canda Mbak Yeyen.
“Dadanya Mbak Yeyen gede..” ucapku polos.
“Bagus nggak? Kamu suka?” tanya Mbak Yeyen lagi. Tapi tanpa menunggu jawabanku tiba2 Mbak Yeyen mendekap kepalaku ke payudaranya sambil tertawa2.
“Nih Ian, isep..! Isep..!” candanya. Sementara aku tidak bisa bergerak karena Mbak Yeyen menindihku. Aku hampir tidak bisa bernapas. Mbak Yeyen terus membekapku dengan payudaranya, seringkali putingnya yang coklat dipaksakan memenuhi mulutku. Kira2 10 menit Mbak Yeyen berbuat begitu, aku yang tidak tahu apa2 bingung sendiri melihat Mbak Yeyen mulai keringatan dan napasnya terengah engah.
“Ian, buka bajunya dong!” kata Mbak Yeyen sambil berjalan menuju pintu dan menguncinya.
“Ian ga mau, malu sama Mbak!” aku mulai ketakutan karena tidak mengerti apa yang terjadi dan kenapa Mbak Yeyen berperilaku aneh. Aku melompat dari ranjang dan berlari menuju pintu, berusaha membukanya meski aku tahu itu percuma karena kunci pintu sudah disimpan Mbak Yeyen di atas lemari yang sulit kujangkau.
“Udah sini kamu!” bentak Mbak Yeyen sambil mengangkat tubuhku, aku hanya bisa meronta2 tak berdaya. Lalu Mbak Yeyen membantingkan tubuhku ke atas ranjang, aku sesak, tapi Mbak Yeyen tak peduli, dia langsung menindih kakiku tepat dilutut, celanaku dipelorotkan, bajuku dibuka paksa sehingga kancing2 bajuku berhamburan di lantai. Tiap kali aku mencoba bangun, Mbak Yeyen mendorongku kembali, malah kadang2 dia menamparku sambil membentak2 menyuruhku berbaring.
Aku ketakutan sekali sehingga aku pasrah dan hanya bisa menangis. Mbak Yeyen mengocok penisku dan kadang2 mengulumnya sampai keseluruhan penisku masuk ke dalam mulutnya, jari2 tangan kirinya bermain2 di vaginanya. Kira2 15 menit kemudian, dia berjongkok diatasku dan mulai mengarahkan penisku yang menegang ke dalam vaginanya. Aku benar2 bingung dan tidak mengerti apapun, yang kurasakan hanya kenikmatan yang luarbiasa ketika penisku masuk seluruhnya ke dalam liang vagina Mbak Yeyen.
“Ahh.. Ahh..” Mbak Yeyen mendesah sementara pinggulnya bergoyang2, kadang memutar, kadang naik turun. Tanganku ditarik sedemikian rupa sehingga memegang payudaranya.
“Cepetan remes..! Yang kuat remesnya tolol!” bentak Mbak Yeyen, aku sudah meremas sekuat tenaga tapi telapak tanganku tidak mampu menjangkau seluruh payudaranya. Plaak!! Mbak Yeyen kembali menamparku.
“Aaah.. Mau keluar niihh..!” Mbak Yeyen mempercepat gerakannya, badanku yang jauh lebih kecil dari Mbak Yeyen terombang ambing mengikuti gerakannya. Meski ketakutan, aku tidak bisa berbohong kalau rasanya nikmat sekali, seperti mau kencing tapi beda. Akhirnya aku hanya memejamkan mata ketika spermaku keluar. Mbak Yeyen menyadari aku keluar, dan dia makin mempercepat gerakannya sambil tertawa2.
“Oooh…! Hahaha enak kan? Aah…! Nnngh..! Mbak juga mau keluar..!” sehabis bicara begitu tubuh Mbak Yeyen bergetar dan sedetik kemudian dia mendesah kencang.
“Aaaahhh…!! Nikmatt..!” desahnya sementara tubuhnya berkedut2 mengejang.
Aku tergolek lemas saat Mbak Yeyen berdiri. Tiba2 dia berjongkok kembali tapi kali ini dia mengarahkan vaginanya ke wajahku.
“Aaah.., bersihin Yan, jilatin semuanya!” aku tak bisa lagi memberontak. Tangan Mbak Yeyen memegang kepalaku sementara vaginanya yang basah digesek2an ke mulut dan wajahku. Aku menangis dan berusaha menolak tapi tenaga Mbak Yeyen jauh lebih kuat. Dibekapnya mulutku dengan vaginanya sehingga aku kesulitan bernapas, tiba2 semuanya menjadi gelap. Aku pingsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar